Mengembalikan Filsafat kepada Setiap Orang

Angga Arifka
7 min readNov 12, 2022

--

Kalau “berfilsafat” itu mengajukan penyelidikan-penyelidikan tertentu atas problem-problem mendasar manusia serta realitas di mana ia bermukim dan kemudian menganalisisnya dengan cara yang bersih dan rapi, pada prinsipnya setiap orang (dapat) belajar bagaimana “berfilsafat”.

Tidak seperti kebanyakan disiplin akademis di universitas dan perguruan tinggi yang memerlukan — sekaligus menempa — keahlian khusus, filsafat dapat mewujud pada dua domain: sebagai [1] kerja intelektual di mana para mahasiswa dan kalangan profesional mengacu pada kanon karya-karya filosofis, dan sebagai [2] seni keseharian di mana setiap orang niscaya mempraktikkannya tanpa mengacu pada kanon-kanon filsafat sebelumnya.

Kredit: www[dot]uwinnipeg[dot]ca/philosophy

Pengejawantahan dua domain filsafat tersebut dimaksudkan untuk mereduksi, pertama-tama dan yang paling mendasar, “kesalahpahaman” tentang impresi stereotipikal yang muncul dari istilah “filsafat”, yang memang, tak syak lagi, tampak eksklusif, terlalu serius, sangat abstrak, mengawang-awang, dan sama sekali jauh dari wilayah “orang-orang amatir”. Kesalahpahaman semacam itu tentu saja barakibat terhalangnya setiap orang yang hendak berfilsafat “di dalam” atau “mengenai” kehidupan praktisnya.

Pada umumnya buku-buku pengantar filsafat memulai pembahasannya dengan definisi. Memang ada banyak definisi yang selalu diajukan oleh para filsuf dan para pengkaji filsafat. Dengan kata lain, definisi tersebut amat beragam dan sebanyak para pengkajinya. Kendati tidak selalu ditegaskan secara jelas oleh para filsuf, filsafat acap diidentifikasi sebagai sebuah aktivitas atau seni berpikir ketimbang produk atau akumulasi dari produk filosofis yang dicanangkannya.

Jika kita menjangkarkan diri pada pengertian bahwa filsafat merupakan suatu proses dari aktivitas atau seni berpikir, maka satu implikasi yang amat penting adalah, sebagaimana diisyaratkan sedari awal, pada prinsipnya siapa saja, meski tanpa mempelajarinya di tingkat akademis, dapat mempraktikkannya secara praktis. Pada titik ini, filsafat menjadi tampak berbeda dengan disiplin lain, katakanlah psikologi, yang tentu saja mengharuskan seseorang untuk mempelajari teori-teori tertentu seperti psikoanalisis atau behaviorisme.

Sebagaimana telah kita bagi di muka bahwa filsafat memiliki dua domain: sebagai kerja intelektual di mana para mahasiswa dan kalangan profesional mengacu pada kanon karya-karya filosofis, dan sebagai seni keseharian di mana setiap orang niscaya mempraktikkannya tanpa mengacu pada kanon-kanon filsafat sebelumnya, kita dapat menyebut yang pertama sebagai filsafat akademis dan yang kedua filsafat praktis.

Filsafat akademis memang sama sekali tidak boleh mengabaikan catatan-catatan filosofis yang telah dibangun berabad-abad oleh para filsuf. Kajian historis dalam dunia akademis membantu seorang pelajar mengenali problem-problem apa saja yang telah dibahas, dikaji, dikomentari, dikritik, dibantah, dan ditolak oleh generasi filsuf sebelumnya. Memang, tanpa kajian semacam ini, seorang pemikir bisa saja mengalami kesalahan serupa dan malah tidak memiliki kemajuan sama sekali.

Meski filsafat akademis mengantongi kelebihan yang tak terelakkan, kenyataan bahwa untuk dapat berfilsafat seseorang tidak perlu selalu mengetahui, menghafal, atau membaca teks-teks filosofis yang pernah ada. Secara alami, seseorang akan tetap saja bergumul dengan persoalan-persoalan filosofis dalam kehidupannya sekalipun ia tak pernah mengenal kanon-kanon filsafat sama sekali.

Penting ditegaskan bahwa materi-materi filsafat itu disuplai secara langsung oleh pengalaman keseharian kita atas realitas dan segenap gerak serta entitas di dalamnya. Itulah mengapa masalah-masalah filsafat selalu muncul berulang-ulang di pikiran orang-orang yang bahkan belum pernah membaca kanon filsafat. Namun, malangnya, filsafat akademis selalu mendominasi filsafat praktis.

Filsafat yang diselenggarakan di dunia akademik memang menguntungkan secara profesional agar mereka yang bekerja di dalamnya dapat bergerak dan berpikir bebas karena mereka terlepas dari kontrol ketat pemerintah dan masyarakat. Hanya saja profesionalisasi filsafat yang terus meningkat juga menyebabkan kegiatan filosofis, bagi khalayak umum, bukan hanya elitis, tetapi juga tampak misterius dan esoteris, sehingga bahkan khalayak umum kerap menuding pikiran-pikiran filosofis sebagai “liar”, “tak bermoral”, “biadab”, “sinting”, “penuh dosa”, dan semisalnya.

Selain menyebabkan khalayak umum yang hanya karena mendengar kata “filsafat” saja langsung menuding aneh-aneh, profesionalisasi filsafat menempa para akademisi di dalamnya tumbuh terisolasi dari masyarakat, yang pada gilirannya gagasan dan publikasi mereka menjadi semakin abstrak serta kering dan sama sekali tak mengusap problem-problem masyarakat yang basah.

Kiranya perlu sekali bagi kita untuk mewanti-wanti agar filsafat dapat dijangkarkan kembali sebagai praktik yang amat dekat dengan khalayak umum dengan cara mereduksi sifat-sifat esoteris dan elitis filsafat itu sendiri. Sebab, tradisi filosofis yang enyah dari pikiran-pikiran keseharian masyarakat tentunya berisiko menumbuhkan penyangkalan filosofis (philosophical recalcitrance), yang hanya mengantarkan masyarakat pada jawaban-jawaban sederhana dan simplistis untuk problem-problem kehidupan yang kompleks dan riil.

Kredit: cssh[dot]northeastern[dot]edu/philosophy

Eksklusivitas filsafat yang ditunjukkan oleh sifat esoteris dan elitisnya itu acap pula ditegaskan oleh beberapa filsuf, yang barangkali juga dihantui oleh kecongkaan Plato, yang meneguhkan bahwa hanya sebagian kecil individu yang secara intelektual diuntungkan untuk dapat berfilsafat. Namun demikian, ada pula filsuf yang secara blak-blakan mengolok-olok sifat elitis dan esoteris yang dibangun oleh para filsuf lain — misalnya Arthur Schopenhauer yang secara terbuka mencerca “para filsuf buku” yang mencurahkan sebagian besar waktu mereka untuk berkutat pada apa yang dikatakan filsuf lain alih-alih berpikir untuk diri mereka sendiri.

Kesalahan mendasar yang membuat filsafat menjadi eksklusif atau tereksklusinya filsafat dari kehidupan umum, dan khususnya para pelajar (atau mahasiswa filsafat itu sendiri), adalah kakunya pendidikan didaktik mengenainya. Biasanya para murid atau mahasiswa dikenalkan filsafat sebagai sebuah atau kumpulan atau akumulasi produk-produk kuno, atau katakanlah artefak asing bagi mereka.

Pendekatan didaktik semacam ini dalam banyak kasus tidak diterapkan dengan baik, sehingga kegagalan siswa untuk mengenali ide-ide filosofis pun tak terelakkan, dan malah acap kali hanya mampu menyulap manusia-bebas-berpikir-kreatif menjadi burung beo. Dengan begitu, pada akhirnya, para mahasiswa filsafat pun menganggap filsafat itu sebagai sesuatu yang asing dan kuno karena ia tak benar-benar menyentuh pikiran-pikiran kesehariannya secara langsung.

Buntut dari tragedi semacam ini tentu saja amat jelas, bahwa mahasiswa atau pelajar filsafat yang semestinya dapat meneruskan “kehidupan filosofis” yang di(d)alami di universitas kepada khalayak umum melalui pelbagai media yang tersedia pada akhirnya benar-benar tak menemui keberhasilan. Sebagai penyambung pengetahuan, para pelajar bukan hanya terasing dari studi yang digelutinya sendiri, melainkan juga dari khalayak umum yang kepadanya mereka mesti mendedikasikan diri secara sosial dan intelektual.

Lalu bagaimana agar setiap orang dapat dengan mudah berfilsafat?

Untuk mengatasi pendekatan didaktik rigid yang kerap mengantarkan pada pengeksklusian filsafat dari kehidupan konkret yang filosofis, Socrates sejak lama sekali telah mengajukan suatu metode yang benar-benar menjangkau dan menjala berbagai kalangan. Metode Socrates ialah “dialog”. Dialog berasal dari bahasa Yunani: “dia” artinya melalui dan “logos” artinya kata. Dialog mengeksplisitkan pertukaran kata-kata antara dua orang atau lebih, atau sebuah percakapan yang didasarkan pada pertukaran p(em)ikiran.

Kredit: awkwardsilence[dot]com[dot]au/blog/socrates

Dengan begitu, pendekatan yang dikerjakan Socrates 25 abad yang lalu ini mengindikasikan bahwa berfilsafat sama sekali tidak meniscayakan seseorang untuk mengerti apa yang dikatakan oleh para filsuf tentang persoalan-persoalan filosofis, sebab memang tidak ada anotasi atau produk pemikiran yang perlu dirujuk. Penekanan atas metode dialog ini juga memudahkan bagi mereka yang tidak terlatih dalam tradisi filsafat akademik untuk tetap berfilsafat atau merenungkan problem-problem filosofis yang bersangkut-paut dengan pengalaman keseharian mereka.

Pendekatan dialog semacam ini dapat membawa setiap orang untuk kembali pada wataknya sebagai makhluk merenung dan tercenung, sebagai makhluk berkuriositas yang mengusut setiap pertanyaan dan persoalan, di mana kata-kata menjadi pisau analitis yang membongkar dan menata ulang pikiran dan pemikiran yang sengkarut dan tak sistematis. Kendati dialog membutuhkan lawan bicara, pada dasarnya seseorang tetap bisa bercakap-cakap dengan dirinya sendiri.

Ketika sendirian, seseorang berada di suasana filosofis di mana ia benar-benar dapat menyelidiki persoalan-persoalan yang dihadapinya dengan pikiran yang bening. Di saat itulah seseorang menjadi inspektor, dan yang diinspeksi adalah dirinya sendiri, dirinya dan kaitannya dengan realitas di sekitarnya. Dalam konteks ini, ia akan berdialog dengan dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan krusial seperti, “Mengapa aku harus menikah?” “Bagaimana cinta kuekspresikan?” “Apakah pekerjaanku ini baik secara moral?” bisa menyegarkan kembali tatanan kehidupan personalnya.

Dengan demikian, filsafat bukan lagi sekadar satu bidang studi yang niscaya memerlukan profesionalitas dan hanya menyasar kalangan elit intelektual tertentu. Pada dasarnya, sejauh manusia menggunakan nalar, memori, batin, dan emosinya untuk merenungkan dan mencandrakan kehidupan, manusia tidak lain dan tidak bukan adalah seorang filsuf. Filsafat praktis semacam ini bisa menjadi seni sehari-hari yang diaplikasikan sejak melek di pagi hari hingga merem di malam hari.

Berfilsafat bukan lagi kegiatan yang asing dengan keseharian seseorang. Filsafat telah menubuh dalam pikirannya, dalam renungannya, dalam pertimbangannya, dan dalam setiap pemeriksaan atau perhitungannya. Di sini, setiap orang akan bisa mengenali kembali dirinya dan kehidupannya secara utuh dan penuh, dan kemudian benar-benar bermukim di dalamnya sepenuhnya secara autentik, bukan sekadar identitas kosong tanpa pemeriksaan. Dengan begitu, berfilsafat adalah menjalani kehidupan yang benar-benar berisi kehidupan, tak kurang; dan tak berfilsafat berarti menjalani kematian yang disangka kehidupan, tak lebih.[]

--

--