Kata Pengantar KBBI Edisi Kumpritologi [Sebuah Cerpen Nonkonvensional]

Angga Arifka
3 min readOct 8, 2022

--

Menimbang penggunaan bahasa campuran ngenggres-ngindo [yang menurutku menunjukkan buruknya kualitas bahasa Indonesia si penutur, tidak luput diriku sendiri], aku mengantisipasi bahwa [B]ahasa (baca: bahasa Indonesia) sekitar empat atau lima abad kemudian kemungkinan besar akan punah [anggap saja ini sejenis penujuman rekreasional].

Dalam misi menyelamatkan Bahasa, kita perlu bergotong-royong berijtihad secara linguistik untuk terus memompakan dan menempakan lema-lema baru ke dalam KBBI. Terusik dari kesulitan menggunakan Bahasa untuk lema-lema tertentu, seperti misalnya, zoom in atau zoom out, subscriber, follower, dan semisalnya, sebagai makhluk berbahasa dan makhluk ber[B]ahasa, aku mulai memusingkan kepala berupaya untuk merehabilitasi kebolongan ber[B]ahasa kita serta memitigasi potensi kepunahan Bahasa di beberapa abad kemudian.

Secara kuantitatif, jumlah lema yang dimuat KBBI Edisi Kelima hanyalah 110.538 (per April 2019), sementara itu jumlah lema tersebut tak sampai separuh dari lema yang ditampung oleh Oxford Dictionary, yang berjumlah tidak kurang dari 273.000. Inilah salah satu persoalan mengapa seseorang mencampuradukkan bahasa Inggris dengan Bahasa. Dalam penggunaan teknis atau terminologis tentu tidak masalah, seperti misalnya penggunaan frasa how-to atau the way of life; atau dari bahasa Arab, waḥdat al-wujūd; dari bahasa Jerman, In-der-Welt-sein; dari Latin, ipso facto; atau dari bahasa Perancis, Lêtre en-soi, dan sebagainya. Akan tetapi, mengapa kita perlu menggunakan kata dinner [Kamu sudah dinner?] yang padahal jelas-jelas kita memiliki frasa “makan malam”?

Menimbang lema KBBI yang tidak sampai separuh dari Oxford Dictionary, misalnya, dan mengingat lema berbahasa kita yang kerap ompong dan keropos, kita niscaya dipaksa terus-menerus bermanuver habis-habisan untuk mereposisikan dan menginvensikan lema-lema baru atau mengadopsi lema-lema yang tak bisa kita temukan dalam Bahasa dengan cara mengubahsuaikannya sesuai dengan langgam kita dalam ber[B]ahasa.

Setelah kita telah menyinggung persoalan kuantitatif, mari kita beranjak menyoroti sedikit tajam persoalan kualitatif. Secara kualitatif, lema-lema dalam KBBI masih kurang komprehensif dan sekadar menyentuh makna harfiah/dasar belaka. Ambil contoh lema “ukhti” yang berarti “saudariku”. Kata yang diadopsi langsung dari bahasa Arab itu, dalam penggunaan berbahasa dan berBahasa kita, tidak melulu bermakna “saudariku”. Inilah alasan kenapa kita bisa katakan bahwa ada persoalan kualitatif dalam menerangkan arti sebuah leksikon.

Membaca Wittgenstein II, yakni berkenaan dengan language games, kita tahu bahwa makna sebuah kata berhilir mudik di dalam suatu konteks serta bersandar pada sebuah komunitas yang menggunakan. Bagi sebuah komunitas tertentu, kata “ukhti” memang bisa dipahami dengan makna “saudariku”, tetapi di komunitas lain, kata itu berubah sedemikian rupa dahsyatnya sehingga kalau dipahami sebagai “saudariku” akan menjadi amat rancu. Oleh karenanya, redefinisi dan re-pompa-isi makna-makna baru pada setiap entri kata menjadi imperatif bagi para pekerja dan pemukim bahasa. Walhasil, Edisi Kumpritologi ini diluncurkan dan dilancarkan untuk mengover segala rasa berbahasa kita yang paling subtil dan obskur yang belum terdeteksi oleh radar rasa berbahasa KBBI konvensional kita.

Terima kasih canva.com :*

Sebagai pegiat dan penikmat sastra obskur, yang melihat sebuah kata selalu tidak tepat sasaran dalam pengertian wajarnya, aku terdorong untuk mengajak sidang pembaca untuk memperluas cakrawala [pe]makna[an] di mana pikiran kita menyengkarutkan asosiasi dan menyilangkan konotasi. Kata “oknum” misalnya, menjadi terlalu lugu bila kita sekadar menengok definisi yang disajikan oleh KBBI Edisi Kelima (atau bahkan Edisi Berapa Pun), sehingga kita perlu menerobos batas-batas literal ala KBBI Konvensional dan berkunjung pada asosiasi makna kita, dari yang paling banyolan hingga yang paling ugal-ugalan.

Dengan demikian, kita dibawa untuk memahami bahwa bahasa — sebagaimana kata seorang dukun asal Jerman, Martin Heidegger — merupakan “rumah [meng-]Ada”, di mana kita bukan sekadar mendesain dan membangun rumah itu, melainkan malah didesain dan dibangun olehnya. Alhasil, di sini, kita perlu menyadari bahwa “[ber]bahasa kita” mengajak kita semua untuk terus menari ke titik inti sekaligus berlari ke titik terjauh, ke sebuah ufuk, entah bagaimanapun caranya — kendati kita tahu betul bahwa semakin ditempuh, ufuk semakin menjauh.

Akhirulkalam, cerpen ini ditutup dengan satu frasa mujarab: “wallahualam bissawab”.[]

--

--